Tradisi Megalitikum Sumba

Upacara Tarik Batu

Marapu adalah kepercayaan, dan warisan yang terus hidup berakar dalam Tradisi Sumba dan akan terus tetap dilestarikan.

Dalam tradisi asli Sumba, upacara ini sangat dihormati oleh banyak masyarakat Sumba. Bagi mereka, batu-batu tersebut bukanlah benda mati (monumen tanpa jiwa), tapi monumen yang hidup, yang melekat erat pada ajaran keagamaan masyarakat saat ini. Pemujaan leluhur tetap hadir di setiap inti bangunan megalitik, yang berakar dari keyakinan asli masyarakat Anakalang.

Para pengikut Marapu percaya bahwa ada dewa-dewa yang tinggal di sekitar mereka. Mereka juga percaya bahwa roh nenek moyang mereka yang telah meninggal masih hidup, sehingga mereka memperlakukan nenek moyang mereka dengan cara yang spesial. Perlakuan spesial ini, antara lain, diwujudkan dalam bentuk persembahan berkala yang diberikan kepada roh leluhur.

Pekuburan batu di Sumba Barat hampir selalu dikaitkan dengan rumah tempat tinggal, untuk menjaga kedekatan mereka dengan anggota keluarga yang telah meninggal. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari asumsi bahwa roh leluhur bisa melindungi keluarga mereka yang masih hidup. Lokasi kuburan, yang sebagai besar berada di depan rumah, juga membuat keluarga yang masih hidup tetap mengingat nenek moyang mereka yang sudah meninggal dan membuat mereka lebih mudah untuk mengirim doa dan persembahan. Tata letak peti batu di Sumba Barat umumnya membentuk pola linear (memanjang dari utara-selatan, barat-timur), atau bentuk lingkaran (melingkar) dimana di bagian tengah selalu ada tempat khusus untuk pengorbanan (penyembelihan) sebagai pusat yang sakral.

Kuburan batu di Sumba Barat dibuat dengan teknik pengerjaan yang rumit dan penuh ketelitian. Beberapa jenis kuburan batu, terutama watu pawesi, umumnya diukir dengan sangat detail dan memiliki pola dekoratif yang besar, masing-masing memiliki makna filosofis tersendiri.

Persiapan untuk upacara tarik batu lebih rumit dan membutuhkan persiapan yang penuh pertimbangan karena objek yang akan ditarik adalah batu nisan yang besar dan sangat berat. Di atas batu juga disiapkan sebuah gong (katala) dan drum (profit) sebagai alat musik untuk menyemangati para penariknya. Ketika batu ditarik, batang pohon, yang disebut kalang, dijadikan dasar yang berfungsi sebagai roda. Batang pohon dengan diameter bervariasi namun panjangnya rata-rata empat meter diletakkan di sepanjang jalan yang akan dilalui batu tersebut. Dasar tersebut tidak harus menutupi seluruh jalan, karena kayu yang telah digunakan akan dilepaskan dan diletakkan kembali di bagian depan sampai batu mencapai lokasi kuburan yang dituju.