Cinta Dalam Sebuah Foto

Selama berabad-abad, cara orang mengekspresikan cinta akan berbeda di setiap kebudayaan di seluruh dunia, dan secara alami selalu berkembang. Sejak awal pemahaman nenek moyang kita tentang empati dan emosi, hingga sekarang ... emoji ... cinta masih menjadi ekspresi utama dalam komunikasi sehari-hari.

Di Pulau Sumba, kehadiran cinta terlihat jelas dalam rutinitas sosial dan ritual yang mengatur kehidupan spritual dan materil masyarakat Sumba. Meskipun kadang menjadi misteri dan sulit dipahami oleh orang Barat, kepercayaan animisme masyarakat Sumba menunjukkan cinta dan penghormatan pada semua benda alam di alam semesta, menunjukkan bahwa mereka semua memiliki jiwa dan roh, termasuk pohon, batu, bulan serta bintang-bintang. Keyakinan tersebut memberi arti penting yang telah tiada, serta peran hewan dalam upacara dan perayaan. Meskipun demikian, praktek ajaran Kristen di masyarakat Sumba memiliki kesamaan dengan pengalaman para wisatawan yang langsung merasakan kehangatan dan keberkahan dari sifat asli penduduk setempat yang mereka temui.

Namun demikian, Ada hal sangat menarik untuk dicatat bahwa tidak ada terjemahan langsung dalam bahasa Sumba untuk kata "cinta.” Bukan hanya masyarakat Sumba yang mengalami hal tersebut. Ada banyak bahasa lain yang tidak memiliki kata untuk cinta. Bahkan bahasa Jepang tidak memiliki deskripsi spesifik untuk emosi intens tersebut sampai akhir abad ke-19. Oleh karena itu, sebuah budaya mungkin saja baik dan ramah, tapi bisa jadi tidak "romantis," sehingga perasaan akan lebih mudah ditunjukkan daripada dijelaskan dengan kata.

Stephane Sensey adalah fotografer Perancis yang menetap di Bali dan telah berkeliling dunia mengabadikan berbagai budaya cinta dalam foto. Setelah kunjungannya ke Sumba tujuh tahun yang lalu, Stephane menambahkan pulau Sumba ke dalam daftar tempat yang ingin ia abadaikan dalam karya seni baik hati dan jiwa masyarakatnya. Dengan judul "Data Ate," yang diterjemahkan jadi kebaikan, rangkaian foto Sensey akan dipamerkan di Nihi Sumba mulai 25 Oktober 2019 di seluruh area umum resor, termasuk di Menara saat kedatangan, serta di restoran dan bar Ombak. Di bawah ini, Stephane memberikan kita beberapa pandangannya tentang pencarian kebahagiaan sebagai seorang seniman. Bagi teman-teman kami yang tidak berada langsung Nihi bisa tetap menikmati karya Stephane dari jauh dengan tur virtual koleksi Instagram-nya.

 

Menurut Anda, kenapa pulau Sumba berbeda dengan pulau-pulau Indonesia lainnya?
Saya sudah keliling Indonesia selama 15 tahun dan hanya Sumba saja yang memiliki atmosfir klasik yang membuat Anda merasa berada di dunia yang berbeda. Penduduk asli yang masih menunggang kuda di seluruh pulau dengan memakai pakaian tradisional mereka membuat pulau ini benar-benar unik. Pulau ini sungguh istimewa dalam banyak hal.
Saat Anda mencoba untuk mengabadikan "cinta" dalam budaya yang berbeda, apa artinya bagi anda? Apa yang sebenarnya Anda cari?
Artinya adalah semua pekerjaan yang saya lakukan dibuat dengan cinta dan passion. Saya percaya bahwa hanya itulah satu-satunya cara untuk mencapai jiwa seseorang atau pemandangan yang Anda ingin abadikan.
Apa yang paling menonjol bagi Anda ketika memotret budaya dan lansekap di Sumba?
Mungkin kekuatan dari wajah Masyarakat Sumba. Mengenai pemandangan keberagaman, dan pencahayaan yang dapat membuat Anda kadang merasa seperti berada di Afrika.
Apa hal favorit Anda tentang Sumba?
Tentu saja keindahan dari anak-anak, dan juga alam sekitarnya.
Dalam tiga kata, bagaimana Anda mendeskripsikan Sumba?
Abadi. Alami. Memori.
Dimana tempat yang paling ingin Anda tuju untuk mengambil gambar dan mengabadikan "cinta"?
Bali, yang baru-baru ini saya kunjungi. Itulah mengapa saya menetap di pulau para dewa tersebut.
Apa proyek Anda berikutnya?
Sebenarnya saat ini ada beberapa proyek yang sedang berjalan, tapi seri foto tentang Biarritz, kampung halaman saya di Perancis, yang saya utamakan.